Hanya Info

Hanya Sebuah Informasi, Inspirasi, dan Inovasi

Maulid Nabi 2025M/1447H: Menemukan Kembali Kelembutan Rasulullah di Dunia yang Riuh

Jumat, 5 September 2025 - Hari ini, bertepatan dengan tanggal 12 Rabiul Awal 1447 Hijriah.Gema shalawat dan puji-pujian kembali membahana di seluruh penjuru negeri. Hari ini, kita kembali memperingati Maulid, hari kelahiran sosok agung yang menjadi rahmat bagi seluruh alam, Nabi Muhammad SAW. Di tengah riuh rendahnya perayaan, mulai dari festival hingga kajian ilmu, ada satu pertanyaan esensial yang perlu kita ajukan pada diri sendiri: Sudahkah kita benar-benar meneladani sang teladan?

Perayaan Maulid sejatinya bukanlah sekadar seremoni tahunan. Ia adalah sebuah jeda spiritual, sebuah momentum untuk mengisi kembali bejana jiwa kita dengan menengok pada sumber keteladanan yang tak pernah kering. Di zaman yang serba cepat ini, di mana jempol lebih cepat menghakimi daripada hati merenungi, di mana kebencian begitu mudah disulut lewat layar gawai, akhlak Rasulullah SAW hadir sebagai jawaban yang paling relevan.

Kita hidup di dunia yang bising. Kebisingan bukan hanya dari suara, tetapi juga dari banjir informasi, fitnah, dan adu argumen yang tak berkesudahan. Empati seolah menjadi barang mewah, dan kelembutan dianggap sebagai kelemahan. Padahal, Nabi Muhammad SAW mengajarkan hal yang sebaliknya. Beliau membangun peradaban mulia bukan dengan pedang yang terhunus atau suara yang lantang, melainkan dengan keagungan akhlak dan kelembutan hati yang mampu meluluhkan kebencian paling keras sekalipun.

Kisah Teladan: Pelajaran dari Sudut Pasar Madinah

Untuk memahami kedalaman akhlak beliau, mari kita sejenak menengok sebuah kisah yang masyhur dari sudut pasar di Madinah. Di sana, hiduplah seorang pengemis Yahudi yang buta. Setiap hari, ia duduk sambil berteriak, "Wahai saudara-saudaraku, jangan dekati Muhammad! Dia itu orang gila, dia penyihir, dia pembohong! Jika kalian mendekatinya, kalian akan terpengaruh!"

Cacian dan hinaan itu menjadi rutinitasnya. Namun, setiap pagi pula, ada seorang pria yang mendatanginya dengan penuh kelembutan. Tanpa berkata apa-apa, pria itu duduk di sisinya, menyuapinya makanan yang telah dilembutkan terlebih dahulu, memastikan setiap suapan masuk ke mulut sang pengemis dengan nyaman. Perlakuan penuh kasih sayang ini terjadi setiap hari, sementara sang pengemis terus mencaci maki pria yang tak ia kenal namanya. Pria lembut hati itu adalah Nabi Muhammad SAW sendiri.

Hingga suatu hari, Rasulullah SAW wafat. Tidak ada lagi yang datang menyuapi pengemis buta itu. Sahabat terdekat Rasul, Abu Bakar Ash-Shiddiq RA, teringat akan salah satu kebiasaan Nabi yang belum ia lanjutkan: memberi makan pengemis Yahudi di pasar.

Maka, pergilah Abu Bakar ke pasar membawa makanan. Ia mencoba menyuapi sang pengemis, namun dengan cara yang berbeda. Suapannya terasa kasar di mulut si pengemis.

"Siapa kau?" bentak pengemis itu. "Kau bukan orang yang biasa menyuapiku!"

Abu Bakar menjawab, "Aku adalah sahabatnya."

"Tidak!" sergah si pengemis. "Orang yang biasa datang kepadaku sangatlah lembut. Sebelum menyuapiku, ia selalu melembutkan makanannya terlebih dahulu dengan mulutnya, baru ia berikan kepadaku."

Seketika, Abu Bakar tak kuasa menahan tangisnya. Ia berkata, "Memang benar, aku tidak akan pernah bisa selembut dirinya. Ketahuilah, pria yang setiap hari datang menyuapimu dengan penuh kasih sayang, meskipun kau terus menghinanya, adalah Muhammad. Dan beliau... telah wafat."

Mendengar itu, tangis sang pengemis pecah seketika. Hatinya luluh. Kebencian yang selama ini ia pelihara hancur oleh kelembutan akhlak yang bahkan tak pernah ia lihat wujudnya. Saat itu juga, di hadapan Abu Bakar, ia bersaksi memeluk Islam.

Refleksi untuk Kita

Kisah ini bukan sekadar cerita pengantar tidur. Ia adalah tamparan keras bagi kita. Rasulullah mengajarkan bahwa kebencian tidak harus dibalas dengan kebencian. Cacian tidak perlu dibalas dengan makian. Justru, sentuhan kemanusiaan dan kebaikan yang tulus adalah senjata paling ampuh untuk meruntuhkan dinding prasangka.

Di hari Maulid ini, marilah kita merayakannya dengan cara yang paling substansial: dengan berjanji pada diri sendiri untuk menumbuhkan satu saja akhlak mulia beliau dalam kehidupan kita. Mungkin dengan menjadi lebih sabar saat menghadapi perbedaan pendapat di media sosial. Mungkin dengan lebih dulu membantu tetangga yang kesulitan tanpa memandang latar belakangnya. Atau mungkin, sesederhana menahan lisan dari ucapan yang menyakiti hati orang lain.

Sebab pada akhirnya, warisan terbesar Nabi Muhammad SAW bukanlah perayaan yang meriah, melainkan akhlak mulia yang terus hidup dan dipraktikkan oleh umatnya. Selamat merayakan Maulid Nabi Muhammad SAW. Semoga kita semua dimampukan untuk menjadi cerminan kecil dari cahaya agung beliau.